KATAKARTA.ID, PPU – Ratusan warga dari Desa Sotek, Sepan, Riko, dan Bukit Subur serta Aliansi Mahasiswa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) memadati halaman Kantor DPRD Penajam Paser Utara (PPU) pada Senin pagi (19/5). Mereka menyuarakan tuntutan pencabutan izin operasional PT Belantara Subur serta menyatakan secara tegas tidak akan lagi menjalin kemitraan dengan perusahaan tersebut.
Aksi ini ditanggapi DPRD PPU dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) di hari yang sama, melibatkan perwakilan masyarakat dan pihak-pihak terkait, termasuk unsur pemerintahan kecamatan dan kelurahan.
Yosep Wahyudi Sitanggang, perwakilan Aliansi Mahasiswa GMNI yang turut hadir bersama warga, mengungkapkan bahwa konflik ini berawal dari terbitnya izin konsesi PT Belantara Subur pada 1996. Memasuki awal tahun 2000-an, masyarakat mulai melakukan kegiatan penanaman kelapa sawit dan karet di kawasan tersebut, setelah mendapat pelatihan dari program pembinaan masyarakat oleh PT BFI.
“Masyarakat menanam setelah diajarkan oleh PT BFI. Penanaman dilakukan di area konsesi PT Belantara Subur dan tidak ada larangan saat itu, sehingga masyarakat menilai ada pembiaran perusahaan,” jelas Yosep.
Namun pada tahun 2013, lahan yang telah ditanami masyarakat justru digunakan kembali oleh PT Belantara Subur, menimbulkan ketegangan. Sejak saat itu masyarakat mulai menuntut pengakuan atas lahan yang telah mereka kelola.
Pada tahun 2019, menurut Yosep, sempat diterbitkan SK penutupan lahan oleh pihak perusahaan yang memuat peta lahan masyarakat di dalamnya. Namun pada 2021, terbit kembali izin baru atas lahan yang sama, dengan klausul larangan terhadap tanaman kelapa sawit, meski di dalamnya sudah terdapat sawit milik warga.
“Inilah yang jadi pertanyaan besar: mengapa lahan yang jelas-jelas sudah ada tanaman masyarakat, tetap dimasukkan dalam perizinan? Dan kenapa izin itu bisa terbit meski ada sawit di dalamnya?” tambahnya.
Demonstrasi yang digelar masyarakat dari empat desa ini berlangsung hingga pukul 14.30 WITA, dengan massa aksi tetap bertahan di halaman kantor DPRD PPU menunggu hasil dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang berlangsung di dalam gedung. Selama aksi, massa membawa spanduk tuntutan dan menyampaikan orasi, menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal proses ini hingga tuntutan pencabutan izin PT Belantara Subur mendapat kejelasan.
Madron, Koordinator Aliansi Masyarakat Sotek, Sepan, Riko, dan Bukit Subur, seusai rapat menyatakan bahwa meskipun hasil RDP belum sesuai harapan penuh warga, proses dialog ini menjadi langkah awal menuju penyelesaian.
“Permasalahan lahan ini rumit, karena banyak pihak yang menggarap tidak hanya kelompok tapi juga individu. Maka fokus kami dalam satu bulan ke depan adalah inventarisasi lahan. Setelah itu, akan dijadwalkan kembali RDP lanjutan pada 19 Juni 2025,” katanya.
Ketua Komisi I DPRD PPU, Ishaq Rahman, menyampaikan bahwa pihaknya akan kembali menggelar rapat sebulan ke depan untuk mendata dan menyinkronkan status lahan sebagai dasar melangkah ke tahapan berikutnya.
“Langkah kita selanjutnya adalah ke Kementerian Kehutanan, karena status lahannya ini awalnya KBK, yang peruntukannya adalah HTI dan HPH, jadi tidak bisa dimasuki sembarangan,” ujar Ishaq.
Ia menjelaskan bahwa pada awalnya memang ada program dari PT BFI yang membina kelompok masyarakat untuk menanam kelapa sawit.
“Dengan adanya sawit-sawit itu, mungkin itu yang jadi sampel bagi masyarakat untuk ikut juga menanam. Tapi terkait kemitraan, KTH (Kelompok Tani Hutan) itu tidak bergerak di bidang kelapa sawit, melainkan tanaman kayu-kayuan. Problemnya sekarang adalah sawit,” tegas Ishaq.
Menurutnya, DPRD saat ini berperan memfasilitasi semua pihak dan berusaha mencari titik temu. Hasil dari proses inventarisasi lahan selama sebulan ini akan menjadi bahan dalam RDP lanjutan bulan depan, sebelum DPRD melangkah lebih jauh ke kementerian terkait.